Serta-Merta

backpack-tourist-walking-alone-2508x1672_91603Berjalan kaki sambil menyadari realita yang ada di sekitar, itu adalah sebuah kesenangan tersendiri bagiku. Suara berbagai kendaraan, klakson yang sesekali memekik di kejauhan, suara para pedagang pinggir jalan dengan pedagang lain atau dengan calon pembeli sahut menyahut diiringi gelak dalam kelakar-kelakar ringan. Lalu angin disertai debu yang menyerbu kala kopaja berlalu, girang menempel di wajah berminyakku. Aku merasa seperti burung yang leluasa membentangkan sayapnya di langit. Ya, di langit yang mulai teduh jelang sore hari yang kering. Pikiranku melayang lepas bebas di langit sembari kakiku terus dipacu oleh rasa lapar. Terbayang, suatu saat, aku akan berjalan seringan ini di sebuah kota kecil di negeri yang kusebut: masa lalu.

Ya, tidak ada yang salah dengan mengenang masa lampau. Itulah mengapa penting sekali bagiku untuk menciptakan masa-masa dulu (dan masa sekarang yang akan menjadi masa lalu di masa depan) penuh dengan kenangan baik. Tentu tidak semua hal akan berjalan baik. Pasti akan ada hal-hal di luar dugaan dan yang buruk terjadi—sama halnya dengan hal-hal yang baik terjadi di dalam hidup ini. Itulah mengapa aku mau selalu menyelesaikan dan mengakhiri segala sesuatu dengan baik sehingga ketika aku melihat ke belakang, aku melihat pelajaran-pelajaran berharga; bukan penyesalan demi penyesalan. Dan dengan begitu, melirik ke belakang, itu bukanlah sesuatu yang tidak mau aku lakukan karena pahitnya masa lalu. Namun demikian, aku juga harus mengerti bahwa terkadang dengan membiarkan saja sesuatu itu berakhir dengan sendirinya, itu juga adalah salah satu jalan penyelesaian. Misalnya: ketika perpisahan dengan orang yang kita kasihi berakhir tanpa kata-kata perpisahan. Ia pergi menyisakan tanda tanya atau kegundahan di hati. Lalu, apakah kita perlu mengejarnya untuk menuntut jawaban? Tidak. Biarkan saja. Kadang-kadang jawaban itu akan menghampiri kita dengan sendirinya. Biasanya, di saat kita sudah siap untuk memahaminya.

So, di sinilah aku sekarang. Menikmati sore hari yang syahdu di tengah ributnya orang-orang berdiskusi di meja-meja kayu. Suara sendok beradu dengan es batu di dalam gelas teh. Suara cekikikan beberapa karyawan yang baru pulang kerja, melepas kepenatan dengan minuman dingin dan cerita-cerita segar. Sepotong roti bakar cokelat masuk ke dalam mulutku. Sepenggal jazz klasik tahun 60-an menyongsong memoriku. “Bangunkan mimpimu!” begitu katanya. “Masih ada waktu, walau sudah tak banyak,” bisiknya.

A Man Called Ahok: Meneropong Orang Hebat

Ahok 2Basuki Tjahaja Purnama atau yang kerap disebut Ahok adalah nama yang tak asing, baik di telinga pendukungnya maupun di telinga oposannya. Kisah hidupnya sebelum akhirnya ia menjadi “seseorang” di Ibukota difilmkan dengan judul A Man Called Ahok. Tidak ada unsur politik di dalamnya. Tidak ada provokasi di dalamnya. Ini murni film tentang latar belakang Ahok di kampung halamannya, Belitung Timur.

Ia dibesarkan dengan didikan yang keras (kuat) dari orang tuanya, khususnya Papanya. Dan sangat baik sekali ketika Mamanya memiliki peran sebagai ibu yang mampu mengimbangi metode didikan yang keras dari suami kepada anak-anaknya, yaitu kelemahlembutan dan kekuatan hati yang teguh. Zaman sekarang, sepertinya sudah langka ibu-ibu yang seperti itu—apalagi jika badai kesulitan hidup menerpa sedemikian kuat dan keadaan alam sangat berat sehingga seolah-olah hanya menambah persoalan hidup. Tapi Nyonya yang satu ini, tetap bisa tenang dan berusaha mengendalikan diri dengan baik.

Ada beberapa hal lain yang saya tangkap dari film ini. Pertama, bahwa apa yang ditabur oleh orang tua pada masanya, itu akan dituai keturunannya. Hal-hal baik yang sudah dilakukan oleh Papa dan Mama Ahok telah membukakan jalan yang tentu memudahkan perjalanan karier anak-anaknya demi cita-cita mulia yang ada di dalam benak orang tuanya (jadi dokter, jadi pejabat, jadi pengacara). Saya sangat terkesan dengan pernyataan Papa Ahok. Begini. “Orang miskin itu kalah dengan orang kaya. Orang kaya itu kalah dengan penguasa.” Penguasa di sini berarti orang yang memiliki otoritas, bukan orang yang bernyali besar kemudian mampu untuk menakut-nakuti orang lain (preman). Bukan! Penguasa di sini berarti orang yang memang memiliki kapasitas (iman, karakter, hati, intelektualitas, dan gairah) yang kemudian menerima (atau mendapatkan) kesempatan untuk berada di posisi yang strategis (otoritas posisi) sehingga dapat dengan leluasa untuk melakukan gerakan ke berbagai arah demi kebenaran. Wujudnya adalah menjadi pejabat pemerintah. Nah, KESEMPATAN bagi kaum MINORITAS untuk menjadi pejabat pemerintah, itu teramat sulit, bahkan nyaris mustahil. Kalau kata Ahok di film itu (kurang lebih), “Masa’ muka babi (China) kayak kita ini bisa jadi pejabat?” Yes, itu sebuah kemustahilan pada masa itu bahkan hingga puluhan tahun kemudian. Namun, Papa dan Mamanya, disadari atau tidak, telah melubangi gunung batu yang keras itu dengan kebaikan demi kebaikan yang mereka lakukan secara tulus di sepanjang hidup mereka. Lelah, itu pasti. Tapi mereka tidak berhenti. Dan jerih lelah mereka itu terbayar dengan sebuah KESEMPATAN melalui KEPERCAYAAN masyarakat yang orang tua Ahok telah bangun perlahan-lahan. Kepercayaan itu telah diterima Ahok melalui kerja keras orang tuanya yang selalu memberi, bahkan dari kekurangan mereka. Dan, sekali lagi, itu tidak gampang. Memberi dari kekurangan, itu sangat sulit! Saat kita punya uang 10 juta, memberi 100 ribu kepada orang lain, itu gampang. Coba kalau kita cuma punya uang 10 ribu di tangan, bisa jadi memberi 5 ribu doang kepada orang lain, itu tidak mudah.

Kedua, ada kekuatan yang disalurkan melakui dialog-dialog yang dilontarkan para pemain. Semoga saya tidak sedang subjektif di sini. Artinya, ya silakan koreksi kalau saya salah. Salah satunya adalah mengenai berburu harimau. Saat akan berburu harimau, ajaklah saudara kandung, bukan teman. Kalau teman, ia dapat saja lari ketika harimau itu mengejar dan akan menerkammu. Mungkin kita akan mengkritisi bahwa zaman sekarang saudara kandung pun tidak lagi dapat dipercaya, bahkan dapat membunuhmu! Kenyataan dari zaman Kain dan Habel pun begitu. Namun, poin dari pernyataan Papa Ahok itu adalah bangunlah hubungan keluarga yang baik. Saudara dengan saudara harus saling mendukung, menguatkan, menjaga, saling percaya, dan sama-sama berjuang. Keluarga itu harus memiliki hubungan yang kuat. Dan hubungan yang kuat itu HARUS DIBANGUN. Hubungan darah, ya hubungan darah. Tanpa diperjuangkan pun, sesama saudara kandung SUDAH saudara kandung. Tetapi HUBUNGAN yang KUAT, itu adalah hasil KERJA KERAS. Itulah saudara kandung yang sesungguhnya. Dan, bagi saya, teman sedekat apapun, ia dapat saja mengkhianatimu untuk menyelamatkan dirinya! Apakah saudara kandung tidak akan demikian? Ada kemungkinan menjadi demikian. Namun hubungan tidak akan dapat putus karena saudara kandung, satu darah satu daging, tetap saudara! Tidak dapat diputus. Demikian hal ini berkaitan dengan Firman Tuhan di Matius 5:23-34: Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu. Perselisihan di antara saudara kandung, itu harus diselesaikan karena itu dapat mengganggu hubungan kita dengan Tuhan. Dan kalau hubungan kita dengan Tuhan mengalami gangguan, maka kita “tidak aman”.

Hal ketiga yang coba saya tangkap adalah: seseorang yang diterpa dan diasah dengan keras, ia akan menjadi seseorang yang kuat dan tajam (dalam artian positif). Kehidupan yang memanjakan dan kehidupan yang menggoncang, itu akan menghasilkan “produk” yang berbeda. Maka, orang-orang yang ada dalam goncangan seharusnya beryukur karena ia sedang ada dalam proses pembentukan yang akan membuatnnya cemerlang—JIKA responsnya benar! Sulit untuk dapat bersyukur ketika kita ada di dalam terpaan dan tekanan. Namun, jika kita tidak fokus pada masalah dan fokus pada hasil akhir, saya rasa, kita akan memiliki respons yang tepat atas berbagai tekanan dan terpaan tersebut. Maka kita sendiri akan dapat melihat dan menilai kualitas diri kita sendiri.

Saya yakin, Anda yang juga menonton film A Man Called Ahok memiliki tangkapan-tangkapan yang mungkin berbeda dari saya. Saya yakin bahwa itu akan semakin memperkaya khasanah film ini. Bagi saya, dari awal hingga akhir film, pesan parenting disampaikan dengan sangat baik; juga pesan bahwa hidup kita ini bukan untuk diri kita sendiri, tetapi untuk kebaikan orang lain.

Di akhir cerita, ketika kita sama-sama saksikan Ahok menyerahkan sepucuk kertas kepada Veronica (masih istrinya pada saat itu), pikiran saya melayang ke adegan nyata saat Bu Veronica membacakan surat Pak Ahok di depan para wartawan. Ya, saya merasa semakin kangen dengan Pak Ahok. Dan saya juga yakin bahwa Mako Brimob adalah sebuah perhentian yang termasuk bagian dari proses kehidupannya, yang bagaimanapun pasti akan menyampaikan sesuatu kepada Pak Ahok. Maka pesan apa yang diterima Ahok selama di Mako Brimob, itu yang juga ingin saya saksikan saat ia keluar nanti.

Saya rindu pada integritasnya! Saya rindu pada kesungguhan hatinya.

Ps. Akhirnya saya punya waktu (kesempatan) untuk menonton film ini dan punya energi untuk menuliskan banyak hal tentangnya.

Gemintang

GemintangSebuah kegembiraan buat saya ketika seseorang membelikan saya 2 tiket gratis menonton Pementasan Drama Gemintang oleh Teater Koma pada Senin, 2 Juli 2018 pukul 07.30 WIB di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Cikini. Well, saya rasa, saya tidak perlu memberitahukan siapa orang baik itu karena tujuan seseorang itu tulus. Dan di sini, saya akan menanggapi pementasan tersebut dengan jujur.

Kesan disiplin terasa sejak awal, bahkan sejak dulu saya menjadi penonton Teater Koma, terutama disiplin komunal. Pintu dibuka cukup lama sebelum waktu pementasan dimulai sehingga penonton sudah dapat mulai masuk. Dengan demikian, tidak ada antrean panjang dan tidak ada keterlambatan. Tepat 7.30, sudah terdengar audio pembuka yang menginformasikan perihal peraturan menonton pementasan. Dan pementasan dimulai!

Ceritanya mengisahkan seorang anak usia sekitar 30-an yang sekolah S1 hingga S3 mengambil jurusan ilmu perbintangan. Ia memiliki kekasih seorang bintang yang hanya dapat dilihat oleh dirinya seorang. Ia ingin menikah dengan wanita cantik itu. Ia berencana memperkenalkan gadis itu kepada keluarganya. Tentu, karena mereka tidak dapat melihat gadis itu, mereka kemudian menganggap bahwa anaknya telah gila. Di lain sisi, ayahnya adalah seorang koruptor beristri dua. Kedua istrinya ini tidak saling jahat, walau tidak berteman. Mereka memiliki grup ngerumpi-nya sendiri-sendiri. Suatu waktu, KPK melakukan inspeksi berizin ke rumah mereka, yang kemudian berujung pada penangkapan si koruptor tersebut. Di sisi lain, si wanita “bintang” cantik itu telah pergi, hilang, raib. Si anak bersedih.

Seperti biasa, pementasan karya Teater Koma ada nyanyi-nyanyi-nya gitu lah. Saya harus jujur, olah vokal sebagian banyak pemain, itu masih perlu ditingkatkan—terutama pemain-pemain muda. Tanpa bermaksud merendahkan pihak tertentu dan meninggikan pihak yang lain, secara umum kita tahu bahwa jam terbang itu punya banyak andil dalam membangun keterampilan dan kemahiran seseorang. Pemain-pemain lama seperti Ratna Riantiarno dan Budi Ros contohnya adalah pemain yang sudah piawai di atas panggung: olah suara, olah tubuh, olah rasa, olah sukmanya sudah ngalir begitu saja. Effortless! Seketika mata saya melek ketika menyaksikan bagian mereka. Lalu ketika bagian (pemain) yang lain, saya harus berjuang untuk menyimak dalam kantuk yang tiba-tiba gelayutan di pelupuk mata, hingga muncul pemikiran: si “bintang” itu kurang layak untuk dikagumi dan dicintai. Saya dan rekan di sebelah saya, bersetuju bahwa tidak ada kasmaran dan atmosfer jatuh cinta yang memukau atau sekadar memikat perasaan penonton. 

Menjadi seorang pemain andal, itu jelas butuh latihan keras. Sama seperti “untuk menjadi orang sukses, itu butuh perjuangan keras”. Maka di atas panggung yang sama, dengan berbagai orang, dengan jam terbang yang berbeda, itu harus ada usaha keras untuk terus meningkatkan diri lewat evaluasi-evaluasi yang jujur sehingga akan terus ada perkembangan positif dan teater Indonesia tidak jadi zombi di tangan generasi muda abad ini. Semangat!

Damai di Hati

IMG_20180625_230724_610Menikmati damai sejahtera tidak ditentukan oleh suasana di luar, tetapi di dalam (content). Memang, suasana alam di lereng gunung, segelas coklat panas dan cookies, sebuah buku terbuka di tangan, musik jazz, dan keteduhan sore, itu jelas akan mengantarkan perasaan kita ke dalam suasana yang damai dan tenang. Demikian juga dengan keserba-adaan yang kita punya: rumah yang layak, kendaraan yang dibutuhkan, makanan dan minuman yang mungkin lebih dari sekadar cukup, pakaian yang baik, pekerjaan dan pelayanan yang sukses, teman-teman yang seru dan dewasa, ataupun pasangan hidup idaman. Namun, semua itu hanya tools ‘alat’. Damai sejahtera sejati tidak terletak di si alat, tetapi di si pemegang alat.

Kita tidak perlu heran dengan rasa damai di hati ketika kita sedang menikmati alam yang luar biasa. Juga, tidak perlu heran dengan hasil berupa pancaran wajah sumringah karena hidup yang serba ada karena semua itu wajar. Itu adalah hal yang biasa. Itu prinsip alamiah. Prinsip (damai sejahtera) Tuhan (yang sejati), itu beda. Bagaimana bedanya? Damai sejahtera sejati ditentukan oleh kualitas iman kita, kualitas karakter kita, kualitas pemikiran kita, kualitas hati kita. Apakah tanpa segala tools di atas, kita dapat merasakan, mencicipi, dan menikmati ketenangan dan damai sejahtera? Apakah kita masih dapat mengucap syukur dengan lapang hati sambil memandang Sang Pencipta dan tetap mengimani bahwa Ia adalah Tuhan yang sangat baik? Ketika kita diizinkan untuk mengalami keadaan yang tidak kita harapkan, di situ kita akan dapat menilai diri sendiri: apakah damai sejahtera kita ditentukan oleh tools atau oleh apa yang ada di dalam diri kita (content).

Piala Dunia 2018: Hiburan Pas Liburan

Oliver Kahn teriakPas mulai liburan sekolah, pas mulai Piala Dunia 2018! Nyaris setiap hari pantengin TV untuk menyimak pertandingan demi pertandingan. Setiap hari ada 3 pertandingan: pukul 7 malam, 10 malam, dan 1 dini hari. Jika setiap pertandingan memakan waktu selama 2 jam, maka kurang lebih 6 jam setiap harinya adalah untuk nonton laga Piala Dunia 2018! Sisanya, 8 jam untuk istirahat dan untuk lain-lainnya.

Jagoan saya, Jerman! Ah, tapi sayang, Jerman harus merongos karna kalah atas Meksiko. Tapi memang, saya harus akui, bahwa Meksiko mainnya luar biasa. Mereka selalu bergerak, berlari, dan mengomunikasikan bola ke sesama pemain dengan baik! Jerman, duh, kok sepertinya main terlalu hati-hati dan terlalu rapi. Saking hati-hatinya malah jadi nggak kreatif dan kurang inovasi. Saking rapinya malah jadi nggak berani eksplorasi! Lalu, saya kangen sama Oliver Kahn, Klose, dan Balack, saat kali pertama saya menjagokan Jerman di Piala Dunia 2002.

Malam ini, 24 Juni 2018 pukul 1 dini hari, saya harap Jerman bermain lebih bagus sehingga layak untuk menang, atau setidaknya tetap layak disebut sebagai tim yang hebat. In other words, plis main cantik yaaa ….

NILAI KEJUJURAN

honestyPermata yang disimpan tidak pernah bisa memancarkan kemilaunya, dan keberadaannya menjadi sia-sia. Untuk dapat memancarkan kilaunya, permata itu harus dikeluarkan atau dikenakan sebagai perhiasan agar tampak keindahannya. Di situlah orang-orang akan melihat dan kagum akan kemuliaan batu itu. Orang-orang akan tergerak untuk mendekat sekadar mengamati keindahan dan kemegahannya. Demikian pula dengan karakter baik manusia: ia tidak akan tampak jika tidak bisa dilihat melalui sikap atau perbuatan kita. Seperti halnya batu permata yang diproses, demikian pula untuk menampilkan karakter yang baik manusia harus melewati prosesnya.

Kejujuran adalah salah satu karakter baik yang pada zaman ini perlu dikeluarkan dari rak tua batin kita. Semua orang sebenarnya bisa menjadi manusia yang jujur, meski kecenderungan dosa manusia telah membuat manusia menjadi pendusta: “Allah adalah benar, dan semua manusia pembohong” (Roma 3:4). Berapa banyak orang sering mencari dalih untuk membenarkan diri sendiri dengan dusta, bahkan dengan alasan ketidaksempurnaan kita sebagai manusia. Tidak jarang alasan keadaan dan tekanan hidup menjadi kambing hitam atas perbuatan kita sehingga kita memilih jalan kebohongan. Apakah kejujuran demikian mahal atau sedemikian sulit untuk dilakukan sehingga dapat begitu saja dikalahkan oleh persoalan hidup? Haruskah kebiasaan buruk ini menjadi sikap kita yang masih saja kita lakukan? Bukankah itu akan menjadi habit dan kemudian dianggap lazim untuk dilakukan?

Sebenarnya apa sih kejujuran itu? Mengutip buku The Power for True Success: How to Build character in Your Life, kejujuran itu berarti mengomunikasikan apa yang murni dan akurat (kebenaran) melalui kehidupan dan perkataan. Artinya, apa yang dikomunikasikan adalah sesuatu yang sudah jelas kebenarannya. Tidak serta merta, orang yang lancar berbicara ini-itu, ia sedang mengatakan kebenaran. Kita dapat menguji apa yang disampaikan orang tersebut dengan melakukan konfirmasi atas informasi tersebut, baik secara tidak langsung maupun secara langsung kepada sumber informasi. Seperti yang tertulis di dalam Kitab Amsal 16:23, “Hati orang bijak menjadikan mulutnya berakal budi, dan menjadikan bibirnya lebih dapat meyakinkan.” Ayat tersebut mengingatkan kita bahwa orang yang bijaksana akan terlebih dahulu memastikan berita yang ia dengar atau terima sebelum akhirnya ia teruskan kepada orang lain, dengan penuh hikmat. Dengan demikian, orang-orang yang mendengarkan informasi tersebut dapat setuju dengan berita tersebut secara bertanggung jawab dan meyakinkan. Dan, apabila orang-orang yang mendengar melakukan konfirmasi, maka mereka akan mendapati bahwa apa yang disampaikan oleh seseorang tadi mengenai berita tersebut, adalah benar. Dari situ, maka si penyampai berita (orang yang bijaksana) tadi memiliki nilai yang tinggi di mata orang lain. Mengapa? Karena kebenaran dalam perkataannya teruji, kejujurannya terbukti, dan integritasnya meyakinkan. Dengan demikian, ia menjadi orang yang dikagumi oleh pendukungnya sekaligus ditakuti oleh lawannya.

Orang yang hidup dalam ketakutan tentu akan merasa tidak nyaman karena merasa terancam oleh orang yang benar (jujur dalam perkataan dan perbuatannya). Kita sering mendengar bahwa “jika kita benar, apa yang mesti kita takutkan”. Namun, jika kita menyimpan kesalahan yang disingkapkan oleh kebenaran dan kemudian “diumumkan” oleh kejujuran, tentu kita akan merasa sangat tidak aman karena akan dipermalukan. Dan itu adalah ancaman besar bagi orang-orang yang belum beres dengan dirinya sendiri (membohongi diri sendiri dan orang lain, serta bersikeras meyakini bahwa kebohongan itulah kebenaran baginya). Kondisi itu kemudian menekan perasaannya dan melahirkan kebencian di dalam dirinya.

Kebencian tersebut diwujudkan dalam usaha untuk mematikan ruang gerak orang lain. Caranya? Banyak sekali! Orang-orang yang penuh kebencian biasanya orang-orang yang sangat licik mencari cara membunuh karakter si orang jujur—bergantung level kebenciannya. Mereka menciptakan hoax, mencari pendukung-pendukung untuk menyudutkan orang jujur, meneror, bahkan menyebar fitnah yang dilakukan terus menerus dan intens hingga orang-orang “netral” di luar sana terpengaruh sampai-sampai timbul kebingungan: yang mana sih yang benar? Dengan demikian, si pembohong akan berhasil memperoleh simpati orang-orang dan menahan pengaruh si orang jujur. Namun, apakah si orang jujur dianggap kalah? Tidak! Sekalipun si orang jujur hanya sendirian, ia adalah orang yang menang!

Menjadi manusia jujur itu kedengarannya memang tidak enak. Manusia sudah terbiasa hidup di dalam kebohongan (Mazmur 58:3, “ Sesungguhnya, orang itu hamil dengan kejahatan, ia mengandung kelaliman dan melahirkan dusta.”). Tidak dapat dipungkiri bahwa ada banyak orang tertipu oleh iklan produk di TV atau dari belanja online. Banyak pula orang yang terjun ke dunia politik justru menyebarkan berita hoax, bahkan secara terang-terangan. Belum lagi, sebagian orang yang terhipnotis lewat telepon yang mengabari bahwa ia menang undian dan harus melakukan pembayaran ini dan itu untuk menebus hadiahnya. Hal-hal itu menunjukkan bahwa kita hidup di tengah-tengah dunia yang menganggap kebohongan itu adalah hal yang sehari-hari, adalah hal yang lazim, hal yang lumrah, hal yang wajar, hal yang tidak apa-apa, dan itu bukanlah masalah, karena semua orang seperti itu. Dengan demikian, ketika ada orang yang dengan berani mengungkapkan kebenaran, maka akan ada banyak orang yang tesinggung dan merasa terusik kenyamanan hidupnya. Nah, di sinilah akan timbul serangan balik terhadap kejujuran. Jadi, menjadi manusia jujur itu harus siap dibenci, harus siap diserang oleh lawan yang jumlah dan kekuatannya tidak dapat diperkirakan. Selain itu, mungkin ia juga harus siap ditinggalkan oleh orang-orang yang mendukungnya, yang kemudian memusuhinya karena tertekan atau ditekan oleh “pihak lain”.

Mungkin, bagi sebagian orang, tekanan-tekanan itu akan menjadi masalah bagi ketenangan batinnya. Tetapi respons kita terhadap tekanan itu menentukan kedewasaan hidup kita. Justru tekanan-tekanan bahkan penderitaan seharusnya memperkuat karakter kita, apakah kita menjadi lemah atau kita menjadi kuat karenanya. Seperti halnya otot jasmani dilatih oleh beban yang berat, demikian pula dengan kekuatan jiwa kita. Serangan-serangan dalam hidup, itulah yang melatih otot-otot perasaan dan jiwa kita.

Tidak setiap orang di sekitar kita adalah “teman” kita. Di sinilah kita akan mengetahui siapakah sebenarnya orang-orang di sekitar kita: mana yang adalah sahabat, mana yang adalah kawan atau teman, mana yang hanya sekadar kenalan, dan mana pula musuh. Kejujuran kita tidak dipengaruhi oleh orang lain. Tidak peduli orang-orang di sekitar kita seperti apa, tetapi kejujuran harus menjadi bagian dari karakter kita. Bahkan tekanan dan serangan dari luar sebesar apapun tidak menggoyahkan karakter kita. Jika karakter kita dibangun oleh karena kebenaran maka kita akan tetap kuat. Mutiara terpendam yang ditemukan, baru akan kelihatan kilaunya dan diketahui nilainya ketika dilihat orang. Demikian pula dengan kejujuran: seorang diripun akan kelihatan terang kilaunya di tengah-tengah banyaknya orang yang biasa hidup tidak jujur. Sama seperti terang kilau mutiara, maka demikian pula kejujuran itu mempengaruhi orang-orang tidak jujur di sekitar kita. Marilah kita menjadi mutiara yang memancarkan keindahan dan kekaguman bagi orang di sekitar kita. ●

 

Bicara Benar, Bicarakan Kebenaran

Right-Wrong-It-Depends-1000x949Kebenaran itu kalau tidak diungkapkan alias disimpan sendiri, tidak ada gunanya. Kebenaran itu harus disingkapkan. Kebenaran itu harus dinyatakan kepada siapapun dengan cara yang sesuai dengan keadaan. Sesuai keadaan di sini maksudnya adalah metode yang tepat, BUKAN kebenaran itu yang disesuaikan dengan keadaan. Karena jika demikian, maka apa yang akan diungkapkan itu bukanlah kebenaran. Maka, jangan ragu untuk mengungkapkan kebenaran jika Anda tahu kebenaran. Yang penting—setelah kebenaran itu—adalah metode penyampaiannya: lihat waktu yang tepat, pertimbangkan kondisi lingkungan saat itu, dan pastikan bahwa motivasi Anda adalah untuk sungguh-sungguh menyatakan kebenaran, BUKAN untuk menjatuhkan pihak lain—lalu Anda mengambil keuntungan darinya.

Sayangnya, cukup sering kita dapati situasi di mana orang yang mengungkapkan kebenaran itu memaksakan kehendaknya agar kebenaran itu juga diamini oleh pendengarnya. Sekalipun orang ini sudah memenuhi ketiga syarat metode di atas, hal ini (memaksakan kehendak) dapat saja terjadi. Mengapa? Biasanya, karena orang ini BARU mengetahui sebuah kebenaran. Nah, jika seperti ini situasinya, maka bukan lagi kebenaran itu yang menjadi pokok bahasannya, tetapi juga kemauan si pembicara. Akhirnya, kebenaran itu menguap ke udara dan tersisalah perasaan dongkol. Jika kita pernah atau sedang melakukan pemaksaan kehendak semacam ini, lalu merasa dongkol, maka lihatlah ini sebagai proses yang mendewasakan; untuk menguatkan jiwa kita dan melatih perasaan kita menjadi perasaan yang lemah lembut. Perasaan itu digunakan sebagai pendeteksi keadaan sekitar: mendeteksi apakah kebenaran sudah diselewengkan atau kebenaran itu sedang didiamkan/diabaikan, atau sudah tidak ada lagi kebenaran. Juga untuk mendeteksi kapan momen yang baik untuk kita angkat bicara atau untuk menutup mulut.

Bagaimana halnya dengan orang-orang yang menolak kebenaran yang sudah disampaikan dengan metode yang baik? Cukup sering yang menjadi sasaran balik adalah orang yang menyampaikan kebenaran itu. Dibilang “sok pintar”, kemudian orang itu diabaikan. Nah yang begini, tidak perlu dihiraukan. Pendengar kebenaran itu menerima, menolak, atau menampik kebenaran, itu bukan urusan kita. Dan kita tidak perlu pula merasa tersinggung atau merasa disia-siakan. Tugas kita adalah menyampaikan kebenaran, bukan mengurusi perasaan kekanak-kanakan kita. Kalaupun kita menjadi tersinggung, anggaplah itu sebagai petunjuk bahwa kita memang belum dewasa. Dengan demikian, respons kita bukanlah “berhenti menyampaikan kebenaran”, melainkan “melatih mental/hati/perasaan kita agar menjadi kuat dan tidak mudah tersinggung/cengeng”!

Mari kita simak percakapan Tini dan Tono yang berteman sudah 2 tahun, berikut ini.

Tini         : Ton, lu ngerokok mulu. Batuk lu ntar tambah parah.

Tono      : Diem lu. Sono lu urus hidup lu aja.

Ketika Anda (terpaksa) memilih untuk berhenti mengatakan kebenaran karena orang lain menyuruh Anda untuk diam, ataupun karena Anda merasa tersinggung lalu terdiam, berhati-hatilah. Itu dapat mengeraskan atau membekukan perasaan Anda dan kebenaran dalam kehidupan Anda akan mulai merosot. Ketika kebenaran itu surut, hidup ini akan dikelilingi oleh perasaan putus asa dan terlewati dengan sia-sia. Sayang!

Drama Musikal Petualangan Sherina: Butuh Disiplin dan Komitmen Lebih

IMG20180216133952Pengalaman bergiat dan aktif di teater kampus dan beberapa sekolah lebih dari sepuluh tahun, telah mengasah “kemampuan alamiah” saya dalam berteater—yang tentu masih harus terus digali dan diolah. Setelah vakum berteater hampir tiga tahun, termasuk vakum menjadi penikmat pementasan langsung (via youtube sih masih yah), membuat saya rindu untuk menyusup masuk dalam tubuh drama panggung. Minimal dengan menyaksikan sebuah pementasan yang melegakan dahaga sisi dramatika batin saya. #eeaaaa

Lalu, muncullah iklan Drama Musikal Petualangan Sherina di layar laptop saya. Wow! Segera saya klik dan beli tiketnya. Harga tiket normalnya lumayan mahal juga sih. Tapi, ya sudahlah. Saya pilih pementasan di hari Jumat, 16 Februari 2018 pukul 14.00 WIB. Itu bertepatan dengan Tahun Baru Chinese. Saya pikir bakal sepi. Long weekend kan tuh. Ternyata rame juga. Daaan…., tibalah hari H-nya! Saya degdegan juga euy!

Saya bertanya kepada salah satu panitia, di mana pintu 4 (demikian yang tercantum di tiket saya sebagai pintu untuk saya masuk teater). Dia bilang, di lantai dua. Lalu saya naik, dan di situ tidak ada pintu masuk 4. Saya turun lagi dan bertanya kepada panitia yang lain. Lalu dia katakan pintu masuk 4 yang tepat, yaitu di lantai satu, tidak jauh dari pintu utama tempat pengunjung masuk ke gedung Teater Jakarta.

Saya masih mengabaikan kelalaian sepele tadi. Ya sudahlah, pikir saya.

Hingga pukul 13.15, saya tidak melihat ada tanda-tanda pintu masuk dibuka. Panitianya sih sudah stand by di depan pintu. Beberapa orang sudah ngantre di depan pintu-pintu masuk. Lalu saya tanya salah satu panitia yang ada di dekat antrean, kapan pintu dibuka? Lalu dia menjawab, jam satu, Kak. Kata saya, “Mbak, ini udah jam 13.15.” Lalu, dengan ditenang-tenangkan, dia bilang, “Kalau gitu, nanti jam 13.30, Kak.” Hahahaha!

Saya mulai mengerutkan dahi.

Karena akan masih cukup lama pintu masuk dibuka, maka saya berkeliling untuk membeli camilan. Pukul 13.40, saya ke depan pintu masuk 4 lagi. Sudah banyak yang mengantre, dan pintu BELUM juga dibuka! OMG. Dalam 15-20 menit akan mempersilakan masuk ratusan orang ke dalam gedung, itu adalah waktu yang jelas-jelas tidak cukup! Apalagi ditambah dengan pemeriksaan tiket, pemeriksaan tas, dan pemeriksaan badan di pintu masuk. WOW!

Saya mulai mengacu ke harga tiket saya dan bagaimana panitia menge-treat kami. Tidak sebanding. Tapi, ya sudahlah. Mungkin mereka juga panik dengan pementasan mereka ini. Ini kan hari pertama dan pementasan pertama!

Sekitar 13.45, pintu dibuka dan pengunjung masuk dengan cepat. Antreannya pun cukup berantakan. Saya tidak perlu jelaskan detail-detailnya di sini. Intinya, tertangkaplah kesan bahwa mereka belum siap dan tidak siap dengan segala kemungkinan dan yang di luar dugaan, di lapangan. Tapi, gapapalah. Mungkin mereka masih belajar merangkak untuk berjalan dan kemudian berlari. No problemo. #sabaaarrr

Saya masuk pukul dua kurang beberapa menit. Hingga pukul 14.15 WIB, belum ada tanda-tanda pementasan akan dimulai. Di dalam rentang waktu menunggu itu, saya membunuh waktu dengan main game di HP dan WA-an dengan teman. Lalu, 14.16 WIB, pementasan dimulai. Dimulai dengan pengumuman/pemberitahuan dari Tike dan Ronald (penyiar radio—hanya audionya saja), lalu dilanjutkan dengan orkestra. Layar dibuka.

Keaktoran

Saya sangat suka dengan pemeran Sherina dan Saddam. Mereka sangat natural memainkan perannya. Sisi kekanak-kanakan seorang bocah seumuran mereka, itu tampak orisinal. Mereka berhasil menggoda sukacita dalam hati saya. Mereka lucu sekaligus “pure”. Aktingnya sangat baik dan mereka apal dialog dengan sangat baik. Mereka melakukan tari-tarian dengan lancar. Penuh percaya diri sekaligus apa adanya. Memang betul yah kata orang bijaksana untuk belajar ketulusan dari anak kecil. Dua jempol untuk mereka!

Lalu, yang kemudian menjadi pusat perhatian saya adalah Abby (Zuz Natasha) dan Danang (Pak Raden). Pasangan suami-istri dalam kehidupan nyata ini memang sudah saya sukai sebelumnya. Mereka berdua juga menjadi salah satu faktor pendorong bagi saya untuk menonton pementasan ini. Permainan Abby sungguh-sungguh ciamik! Dia bisa nyanyi, bisa menari, bisa akting, juga seorang model, dan full of expressions! Dia adalah satu-satunya aktor dewasa yang terhitung PAKET LENGKAP di mata saya! Saya yakin, dia sejajar dengan aktor teater di Broadway sana. Saat closing pementasan (ketika para actor diperkenalkan dan dipanggil masuk ke atas panggung), dari bahasa tubuhnya, tertangkap impresi bahwa Abby adalah orang yang rendah hati.

Lalu, Danang bagaimana? Ya, sehari-hari saya nontonin dia di The Comment, NetTV. Memang dia begitu orangnya di TV dan di panggung teater. Nggak kaget sih liat pemeranannya: selalu lucu, PD, dan keliatan lelah. Hahahaha!

So, secara keseluruhan, dari sisi keaktoran, semua di atas rata-rata. Abby, sempurna!

Cerita

Saya merasa ceritanya (khususnya bagian ending) itu agak dipaksakan. Tiba-tiba Saddam memberikan kotak yang isinya rok Sherina bekas kena lem, dan sudah dibersihkan. Bagi orang yang sudah pernah menonton filmnya, tentu dapat mengerti ending yang seperti itu. Tapi bagi orang yang tidak menonton filmnya sebelumnya, itu menjadi ending yang gawat! Akhirnya memang, muncul kesan ceritanya terlalu buru-buru diselesaikan. Mengapa? Karena di tengah cerita, bagian rok itu tidak di follow-up sebelumnya. Tiba-tiba muncul di akhir. So, itu kurang “anti-klimaks”. Biasanya sih, ending yang dipaksakan itu karena penulis naskah sudah capek hati atau karena durasi sudah berlebihan (hingga akhirnya perkiraan bahwa aktor akan kelelahan dsb dll menjadi pertimbangan juga). Jika itu benar, maka sayang sekali! Durasi pementasan kemarin itu hanya sekitar 1 jam 40 menit. Dimulai 14.16 (ada pemberitahuan dulu dan musik orkestra hingga 5 menitan-lah) dan berakhir pukul 16.12 (di tengah-tengah ada jeda hampir 25 menit (yang katanya hanya 15 menit, malah molor!). Dan, menurut saya, dengan durasi tidak lebih dari 2 jam, tanpa istirahat (jeda pun) itu tidak masalah. Sayang sekali! Saya tahu, mungkin aktor anak kecil menjadi pertimbangan: mereka butuh rehat atau minum dsb, atau panitia perlu ganti batre mic wireless. Tapi dengan intensitas kemunculan aktor yang sama di hampir setiap adegan, yang tidak rapat seperti itu, saya rasa tidak perlu jeda—apapun alasannya. Kecuali, ada sesuatu di tengah-tengah pementasan (aktor kelelahan parah, misal dehidrasi (enggak mungkin sih karena pementasan ini sangat ringan) atau wireless beberapa aktor mati, atau para penari tiba-tiba sakit perut karena salah makan atau makan siang mereka basi, nah itu, bolehlah ada jeda. Dan hal ini pun harus dikonfirmasi saat konferensi pers. Ya, saya harap hal-hal seperti ini diperhitungkan oleh tim produksi dan tim artistik di kemudian hari.

Properti dan Lampu

Properti dan Lampu? Ah, sudahlah. Tidak perlu dipertanyakan. Bagus! Indah! Wah! Saya yakin, yang bikin bukan panitia. #sorry gaeeess… Apalagi orang yang mengarahkan saya di pintu masuk 4 lantai dua tadi, pasti bukan dia yang bikin. Ngarahin pengunjung ke tempat yang tepat saja gagal, apalagi melakukan hal-hal detail seperti properti yang keren yang nongol di panggung itu. Tapi kalau panitia yang bikin sendiri (bukan memesan ke pihak luar), ANDA HEBAT!!

Cuma, ada catatan di kepala saya bahwa ketika pergantian properti (yang dinaikkan, diturunkan, ditarik masuk panggung, digerek keluar panggung), itu tidak lancar. Ada yang diturunkan dengan kasar, ada yang dinaikkan dengan kasar, ada yang didorong dan ditarik dengan tidak hati-hati. Belum lagi soal timing lampu dan dialog aktor dimulai, itu nggak pas. Kadang lampunya terlambat, kadang aktornya yang kecepetan. Tapi yang paling sering, lampunya dan propertinya yang kurang baik: terlambat, berisik karena ada prop yang beradu, dan ada properti yang belum pada tempatnya, lampu sudah menyala full. Gawat sih ini. Seolah-olah latihannya masih minim karena kurang dana. Hahahaha. Maaf yak. Saya cukup berpengalaman dalam hal ini. Jadi, kita terbuka saja. Cuma, saya rasa panitia ini tidak kekurangan dana-lah. SDM-nya juga banyak—walau kurang dimaksimalkan. So, saya yakin bahwa ini adalah faktor kurangnya disiplin dan komitmen!

Akhir Pementasan

Di akhir pementasan, setelah perkenalan tim artistik dan tim produksi, salah seorang (kemungkinan PIC atau sutradara) muncul di tengah depan panggung. Ia memberikan pesan seputar persatuan dan kesatuan dengan tidak memandang perbedaan, kita sama, dsb. Lalu ia mengajak kami yang tahu lirik lagu (yang akan dinyanyikan) untuk ikut bernyanyi. Pada saat ia berbicara, seharusnya orkestra tetap memainkan musik. Jangan diam. Jangan senyap begitu! Karena pesan yang dia sampaikan, itu serius. Tidak ada musik sebagai pendamping, membuat suasana menjadi mencekam—apalagi, orang yang sedang bicara itu juga terlihat tegang. Kalian pikirin sampe ke situ nggak sih? #mulaigeraaaaam

Ngomong-ngomong soal musik, kedengarannya ada satu kondensor yang on-off karena tiba-tiba terdengar suara trombone keras, lalu hilang seketika, lalu muncul lagi. Saya dapat melihat banyak audiens kaget saat suara trombone tiba-tiba keras. #kocak

Secara keseluruhan, pementasan ini sudah baik. Tapi ketahuilah, disiplin dan komitmen itu harus jadi pondasi untuk menyiapkan suatu pementasan. Karena pada akhirnya, disiplin dan komitmen yang ditunjukkan selama proses persiapan, itu menentukan bagaimana akhirnya. Dan saya rasa, disiplin dan komitmen yang kurang, telah menghasilan pementasan yang (sekadar) baik (saja). Tidak berkesan pada akhirnya; selain melegakan tenggorakan batin sesaat saja. Sekalipun demikian, saya ucapkan selamat atas pementasan Drama Musikal Petualangan Sherina ini. Semoga menjadi pembelajaran bagi tim produksi dan tim artistik dan tentu menjadi pengingat bagi para penonton akan pentingnya nilai-nilai memaafkan serta kerja sama di antara kita semua.

Panggilan Tertinggi BUKANLAH Profesi

Sekitar lima tahun yang lalu, saya belum dapat menjawab dengan yakin pertanyaan seorang siswa kepada saya. Begini tanyanya: “Miss, apakah menjadi guru adalah panggilan tertinggi Miss?” Mendengar pertanyaan itu, hati saya ragu. Pada saat itu, saya ragu menjawab karena sepertinya ada yang “salah” dengan pertanyaannya itu. Sekarang, saya dapat menjawab siapapun yang menanyakan pertanyaan yang sama: Apakah menjadi guru adalah panggilan tertinggi saya.

Profesi adalah Metode. Panggilan tertinggi bukanlah profesi. Profesi adalah alat yang digunakan untuk memenuhi panggilan tertinggi kita. Panggilan tertinggi kita adalah panggilan TUHAN bagi orang-orang kepercayaan-Nya (orang-orang pilihan-Nya), sebagaimana tertulis di Matius 28:18-20: Yesus mendekati mereka dan berkata: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Dan ini kemudian berhubungan juga dengan “menjadi terang dan garam” yang tertulis di Matius 5:13-16: “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. …. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” Apakah dengan menjadi guru, menjadi pedagang, pengusaha, ibu rumah tangga, pembantu, penyanyi, pelayan penuh di rumah Tuhan, OB, security, presiden, menteri, dll, dst, panggilan tertinggi TUHAN atas kita dapat kita genapi secara “sempurna”?

Profesi berkaitan dengan kapasitas diri. Jika kapasitas (skil, kepribadian, kemampuan, talenta, bakat, tingkat pendidikan) kita saat ini cocoknya menjadi guru (atau profesi lainnya), itu tentu tidak menjadi masalah SELAMA kita terus menggali dan mengembangkan diri sepenuhnya. Ada orang yang puas dan merasa aman menjadi pekerja karena gajinya sudah memuaskan dan telah menjamin masa tuanya. Selain itu, pekerjaan tertentu tersebut tidak bermasalah. Semua baik. Bagi saya, di situlah awal kemandekan perkenanan Tuhan. Jika kita berhenti berusaha memaksimalkan diri dengan terus belajar, bukankah itu tanda awal dari keangkuhan? Dan keangkuhan adalah awal dari kejatuhan?

Kapasitas Diri. Ada masa di mana seseorang yang terus belajar dan hidup tunduk kepada Tuhan akan mendapati bahwa dirinya secara pribadi dan kapasitas dirinya diperluas oleh Tuhan. Ketika kemampuannya ditingkatkan, akan ada tanggung jawab yang lebih besar (lebih besar dari sekadar guru, misalnya) yang harus dikerjakan. Apakah, misalkan, perluasan kapasitas yang berakibat pada peralihan profesi dari seorang guru menjadi manager adalah pengkhianatan panggilan tertinggi? Tentu tidak. Profesi bukanlah panggilan tertinggi. Ketika saya menjadi guru, saya akan mendapat pelatihan dalam hidup ini melalui berbagai hal. Ketika saya dan Anda berhasil melewatinya dengan sukacita, tentu otot-otot rohani juga dikuatkan. Hikmat dan pengetahuan juga ditambahkan oleh Tuhan (selama kita hidup berkenan di hadapan-Nya). Tuhan tahu betul seberapa jauh kita bisa melompat ke jenjang yang lebih tinggi untuk memenuhi panggilan tertinggi kita dalam hidup. Dia yang paling tahu. Jadi, stop menjadi orang yang sok tahu! Latihan-latihan yang kita alami, nikmati, dan lewati di ranah profesi kita saat ini, itu adalah latihan untuk kita dapat melangkah maju, melompat naik, bahkan berlari-lari sedemikian rupa!  Tugas kita adalah latihan, latihan, dan latihan dalam hidup. 

Satu lagi, maju dan naik ke anak tangga yang lebih tinggi untuk semakin mendekati penggenapan panggilan tertinggi kita, itu tidak dilihat berdasarkan kenaikan pendapatan atau kecepatan penumpukan kekayaan. Tidak sama sekali! Jika kita memilih Mamon daripada TUHAN, maka anak tangga yang kita naiki bukanlah anak tangga yang benar: itu bukan menuju NAIK (kemuliaan), melainkan menuju TURUN (kehancuran). Itulah mengapa kita perlu melihat apa yang TUHAN lihat, yaitu kekekalan; dan bukan melihat apa yang manusia lihat, yaitu kebahagiaan sesaat. Itulah mengapa kita perlu menggunakan mata rohani kita untuk melihat.

Lalu, bagaimana dengan orang yang tidak mengembangkan kapasitas dirinya? Oh, itu sama dengan hamba yang mendapat satu talenta dan tidak melipatgandakannya. Sehingga Tuannya menyebutnya hamba yang jahat dan malas serta tidak berguna. Orang yang jahat (maunya nyaman sendiri alias egois) dan malas akan mendapatkan konsekuensi sebagaimana tertulis di Matius 25:30: “Dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.” 

Panggilan Tertinggi dan Pengaruh. Saya tidak sedang mengatakan bahwa seseorang yang menjadi guru seumur hidupnya adalah orang yang tidak mengembangkan diri. Hasil mengembangkan diri secara maksimal tidak lantas harus mengubah profesi, melainkan seberapa besar pengaruh Anda terhadap lingkungan Anda. Ketika kita menjadi guru biasa yang memilih berhenti berkembang, tentu pengaruh baik kita sangat kecil. Malahan justru pengaruh buruklah yang kita sebarkan: jahat, malas, dan tidak berguna. Jika kita memaksimalkan diri, tentu kita memberi pengaruh baik bagi sekitar kita: baik, rajin, bermanfaat. Lalu, ada kalanya kita harus beralih profesi sesuai dengan perluasan kapasitas kita sehingga pengaruh kita semakin luas lagi. Misalnya, tadinya jadi guru. Pengaruh saya “hanya” akan diseputaran lingkungan guru dan siswa dan mungkin beberapa orang tua. Jika, dengan kapasitas yang saya miliki, lalu saya menjadi manager perusahaan, maka pengaruh saya adalah ke seluruh karyawan perusahaan saya. KEBETULAN, itu akan meningkatkan penghasilan saya. Itu adalah perkenanan Tuhan. Dengan penghasilan yang besar itu, saya dapat lebih efisien juga untuk menjadi dampak bagi orang-orang miskin di pelosok negeri ini sesuai dengan panggilan tertinggi saya. Atau, saya yang tadinya guru, akhirnya beralih menjadi misionaris di pelosok-pelosok Indonesia. Tidak ada peningkatan penghasilan. Namun, Tuhan pelihara luar biasa juga kok–karena perkenanan Tuhan. Intinya, pengaruh baik kita semakin luas dalam menggenapi panggilan Tuhan atas kita (Matius 28:18-20 dan Matius 5:13-16).

Apakah hal ini berlaku bagi “profesi” yang lain? Yes! Orang-orang yang “berprofesi” sebagai ibu rumah tangga bisa memulai dengan tidak bergosip atau menyebarkan fitnah. Mulailah dengan membagikan kisah-kisah inspiratif dan gagasan-gagasan yang membangun di dekat gerobak abang sayur komplek bareng emak-emak yang lain. Di situlah PENGARUH Anda dan usaha memenuhi panggilan tertinggimu mulai digenapi. 🙂

Selamat berkarya dan berjuang, Kawans!

Coco: Tabur 2 Amanat Berharga

Pixar-Coco-920x584Film yang baik adalah film yang mengantarkan penontonnya setidaknya pada sebuah amanat yang jelas—bukan karena penonton harus mencari-cari amanatnya tuh apa. Alur dan bagaimana film itu disajikan, dari awal hingga akhir, mengantarkan penonton pada pesan yang kuat. Kuat atau tidaknya pesan yang hendak disampaikan, itu bergantung penggarapan film dengan memperhatikan segi artistik dan proses produksi film. Nah, film Coco yang disutradarai Lee Unkrich (2017) adalah salah satu film yang kuat sekali amanat dan penggarapan amanatnya.

Ada dua amanat yang saya serap. Pertama, bahwa seseorang (Ernesto de la Cruz) yang mengaku-akukan dirinya sebagai teman, partner, atau sudah seperti keluarga sendiri pun dapat dengan tega mengkhianatai hingga membunuh rekannya (Hector) demi tercapainya tujuan pribadi: ketenaran, kekayaan, dan kekuasaan. Seseorang dapat begitu sadisnya mengeksploitasi potensi, kebisaan, kelebihan, dan kekuatan “rekannya” sendiri untuk dijadikan tangga naik menuju kesuksesan pribadi. Di film itu, Hector, dengan ketulusannya, tidak pernah mencurigai temannya. Namun, pembalasan bagi orang yang telah menjahati orang lain (apalagi orang yang tulus hatinya) akan menerima pembalasan yang lebih menyakitkan. Ernesto de la Cruz mati tertimpa lonceng besar di acara besarnya: di bumi dan di akhirat.

Amanat yang kedua yang saya resapi adalah bahwa keluarga itu selalu memiliki tempat yang istimewa di dalam hati. Keluarga memang bukan segala-galanya, tetapi tidak lantas berarti keluarga pantas diabaikan begitu saja. Tidak ada syarat yang dijejalkan untuk dipenuhi dalam menunjukkan rasa cinta dan sayang kita pada keluarga besar kita. Hal ini terlihat dari adegan ketika Imelda (buyut Miguel yang akhirnya mengirim Miguel ke alam orang hidup tanpa syarat). Ya, kasihi saja. Cintai dan rawatlah kehangatan keluargamu. Toh, dalam film Coco, keluarga besar Hector yang masih hidup di bumi, adalah keluarga yang baik. Sekalipun Tantenya Miguel yang bernama Rosita) begitu cerewet, sok tahu, dan sok galak menjadi penghambat, kehadirannya dengan segala keberadaannya juga harus diterima karena orang-orang seperti itu dapat ditaklukkan dengan ketulusan dan kesungguhan hati. Apalagi ketika kita berhasil meyakinkannya dengan tindakan. Yap, orang-orang seperti itu jangan dilawan dengan mulut, debat, dan kecerewetan karena bakalan kalah. Percuma. Cuma hanya akan buang-buang energi!

Tentu ada banyak amanat baik lainnya, seperti raihlah mimpimu, kejar dan tangkaplah itu! Jangan menunggu mimpi itu yang datang menghampirimu karena itu tidak mungkin terjadi. Lalu, amanat lainnya, jangan lupakan orang-orang baik di hidupmu; dilupakan itu sama dengan membunuhnya untuk selama-lamanya; dsb dst dll. Namun, bagi saya, dua amanat di atas akhirnya menjadi lebih super-powerful. Walau begitu, tentu amanat-amanat baik lainnya juga saya terima dengan senang hati. Oh, sungguh film ini menyegarkan jiwa dan perasaan saya. Dan dari segi sinematografi (animasi), mata dan imajinasi saya sangat dimanjakan dan diberi kesejukan.

Bagi yang sudah nonton Coco, Anda pasti paham maksud saya. Yang belum nonton, gih buruan nonton mumpung masih tayang di beberapa studio bioskop Jabodetabek.

NB. Nyaris nangis sih di akhir cerita. Amanatnya bagus. Udah lama nggak nonton film yang kuat di amanatnya. Banyak film sekarang sibuk dengan pamer skil dan kecanggihan teknologi. Boseeen.