Serta-Merta

backpack-tourist-walking-alone-2508x1672_91603Berjalan kaki sambil menyadari realita yang ada di sekitar, itu adalah sebuah kesenangan tersendiri bagiku. Suara berbagai kendaraan, klakson yang sesekali memekik di kejauhan, suara para pedagang pinggir jalan dengan pedagang lain atau dengan calon pembeli sahut menyahut diiringi gelak dalam kelakar-kelakar ringan. Lalu angin disertai debu yang menyerbu kala kopaja berlalu, girang menempel di wajah berminyakku. Aku merasa seperti burung yang leluasa membentangkan sayapnya di langit. Ya, di langit yang mulai teduh jelang sore hari yang kering. Pikiranku melayang lepas bebas di langit sembari kakiku terus dipacu oleh rasa lapar. Terbayang, suatu saat, aku akan berjalan seringan ini di sebuah kota kecil di negeri yang kusebut: masa lalu.

Ya, tidak ada yang salah dengan mengenang masa lampau. Itulah mengapa penting sekali bagiku untuk menciptakan masa-masa dulu (dan masa sekarang yang akan menjadi masa lalu di masa depan) penuh dengan kenangan baik. Tentu tidak semua hal akan berjalan baik. Pasti akan ada hal-hal di luar dugaan dan yang buruk terjadi—sama halnya dengan hal-hal yang baik terjadi di dalam hidup ini. Itulah mengapa aku mau selalu menyelesaikan dan mengakhiri segala sesuatu dengan baik sehingga ketika aku melihat ke belakang, aku melihat pelajaran-pelajaran berharga; bukan penyesalan demi penyesalan. Dan dengan begitu, melirik ke belakang, itu bukanlah sesuatu yang tidak mau aku lakukan karena pahitnya masa lalu. Namun demikian, aku juga harus mengerti bahwa terkadang dengan membiarkan saja sesuatu itu berakhir dengan sendirinya, itu juga adalah salah satu jalan penyelesaian. Misalnya: ketika perpisahan dengan orang yang kita kasihi berakhir tanpa kata-kata perpisahan. Ia pergi menyisakan tanda tanya atau kegundahan di hati. Lalu, apakah kita perlu mengejarnya untuk menuntut jawaban? Tidak. Biarkan saja. Kadang-kadang jawaban itu akan menghampiri kita dengan sendirinya. Biasanya, di saat kita sudah siap untuk memahaminya.

So, di sinilah aku sekarang. Menikmati sore hari yang syahdu di tengah ributnya orang-orang berdiskusi di meja-meja kayu. Suara sendok beradu dengan es batu di dalam gelas teh. Suara cekikikan beberapa karyawan yang baru pulang kerja, melepas kepenatan dengan minuman dingin dan cerita-cerita segar. Sepotong roti bakar cokelat masuk ke dalam mulutku. Sepenggal jazz klasik tahun 60-an menyongsong memoriku. “Bangunkan mimpimu!” begitu katanya. “Masih ada waktu, walau sudah tak banyak,” bisiknya.

Leave a comment