Pengalaman bergiat dan aktif di teater kampus dan beberapa sekolah lebih dari sepuluh tahun, telah mengasah “kemampuan alamiah” saya dalam berteater—yang tentu masih harus terus digali dan diolah. Setelah vakum berteater hampir tiga tahun, termasuk vakum menjadi penikmat pementasan langsung (via youtube sih masih yah), membuat saya rindu untuk menyusup masuk dalam tubuh drama panggung. Minimal dengan menyaksikan sebuah pementasan yang melegakan dahaga sisi dramatika batin saya. #eeaaaa
Lalu, muncullah iklan Drama Musikal Petualangan Sherina di layar laptop saya. Wow! Segera saya klik dan beli tiketnya. Harga tiket normalnya lumayan mahal juga sih. Tapi, ya sudahlah. Saya pilih pementasan di hari Jumat, 16 Februari 2018 pukul 14.00 WIB. Itu bertepatan dengan Tahun Baru Chinese. Saya pikir bakal sepi. Long weekend kan tuh. Ternyata rame juga. Daaan…., tibalah hari H-nya! Saya degdegan juga euy!
Saya bertanya kepada salah satu panitia, di mana pintu 4 (demikian yang tercantum di tiket saya sebagai pintu untuk saya masuk teater). Dia bilang, di lantai dua. Lalu saya naik, dan di situ tidak ada pintu masuk 4. Saya turun lagi dan bertanya kepada panitia yang lain. Lalu dia katakan pintu masuk 4 yang tepat, yaitu di lantai satu, tidak jauh dari pintu utama tempat pengunjung masuk ke gedung Teater Jakarta.
Saya masih mengabaikan kelalaian sepele tadi. Ya sudahlah, pikir saya.
Hingga pukul 13.15, saya tidak melihat ada tanda-tanda pintu masuk dibuka. Panitianya sih sudah stand by di depan pintu. Beberapa orang sudah ngantre di depan pintu-pintu masuk. Lalu saya tanya salah satu panitia yang ada di dekat antrean, kapan pintu dibuka? Lalu dia menjawab, jam satu, Kak. Kata saya, “Mbak, ini udah jam 13.15.” Lalu, dengan ditenang-tenangkan, dia bilang, “Kalau gitu, nanti jam 13.30, Kak.” Hahahaha!
Saya mulai mengerutkan dahi.
Karena akan masih cukup lama pintu masuk dibuka, maka saya berkeliling untuk membeli camilan. Pukul 13.40, saya ke depan pintu masuk 4 lagi. Sudah banyak yang mengantre, dan pintu BELUM juga dibuka! OMG. Dalam 15-20 menit akan mempersilakan masuk ratusan orang ke dalam gedung, itu adalah waktu yang jelas-jelas tidak cukup! Apalagi ditambah dengan pemeriksaan tiket, pemeriksaan tas, dan pemeriksaan badan di pintu masuk. WOW!
Saya mulai mengacu ke harga tiket saya dan bagaimana panitia menge-treat kami. Tidak sebanding. Tapi, ya sudahlah. Mungkin mereka juga panik dengan pementasan mereka ini. Ini kan hari pertama dan pementasan pertama!
Sekitar 13.45, pintu dibuka dan pengunjung masuk dengan cepat. Antreannya pun cukup berantakan. Saya tidak perlu jelaskan detail-detailnya di sini. Intinya, tertangkaplah kesan bahwa mereka belum siap dan tidak siap dengan segala kemungkinan dan yang di luar dugaan, di lapangan. Tapi, gapapalah. Mungkin mereka masih belajar merangkak untuk berjalan dan kemudian berlari. No problemo. #sabaaarrr
Saya masuk pukul dua kurang beberapa menit. Hingga pukul 14.15 WIB, belum ada tanda-tanda pementasan akan dimulai. Di dalam rentang waktu menunggu itu, saya membunuh waktu dengan main game di HP dan WA-an dengan teman. Lalu, 14.16 WIB, pementasan dimulai. Dimulai dengan pengumuman/pemberitahuan dari Tike dan Ronald (penyiar radio—hanya audionya saja), lalu dilanjutkan dengan orkestra. Layar dibuka.
Keaktoran
Saya sangat suka dengan pemeran Sherina dan Saddam. Mereka sangat natural memainkan perannya. Sisi kekanak-kanakan seorang bocah seumuran mereka, itu tampak orisinal. Mereka berhasil menggoda sukacita dalam hati saya. Mereka lucu sekaligus “pure”. Aktingnya sangat baik dan mereka apal dialog dengan sangat baik. Mereka melakukan tari-tarian dengan lancar. Penuh percaya diri sekaligus apa adanya. Memang betul yah kata orang bijaksana untuk belajar ketulusan dari anak kecil. Dua jempol untuk mereka!
Lalu, yang kemudian menjadi pusat perhatian saya adalah Abby (Zuz Natasha) dan Danang (Pak Raden). Pasangan suami-istri dalam kehidupan nyata ini memang sudah saya sukai sebelumnya. Mereka berdua juga menjadi salah satu faktor pendorong bagi saya untuk menonton pementasan ini. Permainan Abby sungguh-sungguh ciamik! Dia bisa nyanyi, bisa menari, bisa akting, juga seorang model, dan full of expressions! Dia adalah satu-satunya aktor dewasa yang terhitung PAKET LENGKAP di mata saya! Saya yakin, dia sejajar dengan aktor teater di Broadway sana. Saat closing pementasan (ketika para actor diperkenalkan dan dipanggil masuk ke atas panggung), dari bahasa tubuhnya, tertangkap impresi bahwa Abby adalah orang yang rendah hati.
Lalu, Danang bagaimana? Ya, sehari-hari saya nontonin dia di The Comment, NetTV. Memang dia begitu orangnya di TV dan di panggung teater. Nggak kaget sih liat pemeranannya: selalu lucu, PD, dan keliatan lelah. Hahahaha!
So, secara keseluruhan, dari sisi keaktoran, semua di atas rata-rata. Abby, sempurna!
Cerita
Saya merasa ceritanya (khususnya bagian ending) itu agak dipaksakan. Tiba-tiba Saddam memberikan kotak yang isinya rok Sherina bekas kena lem, dan sudah dibersihkan. Bagi orang yang sudah pernah menonton filmnya, tentu dapat mengerti ending yang seperti itu. Tapi bagi orang yang tidak menonton filmnya sebelumnya, itu menjadi ending yang gawat! Akhirnya memang, muncul kesan ceritanya terlalu buru-buru diselesaikan. Mengapa? Karena di tengah cerita, bagian rok itu tidak di follow-up sebelumnya. Tiba-tiba muncul di akhir. So, itu kurang “anti-klimaks”. Biasanya sih, ending yang dipaksakan itu karena penulis naskah sudah capek hati atau karena durasi sudah berlebihan (hingga akhirnya perkiraan bahwa aktor akan kelelahan dsb dll menjadi pertimbangan juga). Jika itu benar, maka sayang sekali! Durasi pementasan kemarin itu hanya sekitar 1 jam 40 menit. Dimulai 14.16 (ada pemberitahuan dulu dan musik orkestra hingga 5 menitan-lah) dan berakhir pukul 16.12 (di tengah-tengah ada jeda hampir 25 menit (yang katanya hanya 15 menit, malah molor!). Dan, menurut saya, dengan durasi tidak lebih dari 2 jam, tanpa istirahat (jeda pun) itu tidak masalah. Sayang sekali! Saya tahu, mungkin aktor anak kecil menjadi pertimbangan: mereka butuh rehat atau minum dsb, atau panitia perlu ganti batre mic wireless. Tapi dengan intensitas kemunculan aktor yang sama di hampir setiap adegan, yang tidak rapat seperti itu, saya rasa tidak perlu jeda—apapun alasannya. Kecuali, ada sesuatu di tengah-tengah pementasan (aktor kelelahan parah, misal dehidrasi (enggak mungkin sih karena pementasan ini sangat ringan) atau wireless beberapa aktor mati, atau para penari tiba-tiba sakit perut karena salah makan atau makan siang mereka basi, nah itu, bolehlah ada jeda. Dan hal ini pun harus dikonfirmasi saat konferensi pers. Ya, saya harap hal-hal seperti ini diperhitungkan oleh tim produksi dan tim artistik di kemudian hari.
Properti dan Lampu
Properti dan Lampu? Ah, sudahlah. Tidak perlu dipertanyakan. Bagus! Indah! Wah! Saya yakin, yang bikin bukan panitia. #sorry gaeeess… Apalagi orang yang mengarahkan saya di pintu masuk 4 lantai dua tadi, pasti bukan dia yang bikin. Ngarahin pengunjung ke tempat yang tepat saja gagal, apalagi melakukan hal-hal detail seperti properti yang keren yang nongol di panggung itu. Tapi kalau panitia yang bikin sendiri (bukan memesan ke pihak luar), ANDA HEBAT!!
Cuma, ada catatan di kepala saya bahwa ketika pergantian properti (yang dinaikkan, diturunkan, ditarik masuk panggung, digerek keluar panggung), itu tidak lancar. Ada yang diturunkan dengan kasar, ada yang dinaikkan dengan kasar, ada yang didorong dan ditarik dengan tidak hati-hati. Belum lagi soal timing lampu dan dialog aktor dimulai, itu nggak pas. Kadang lampunya terlambat, kadang aktornya yang kecepetan. Tapi yang paling sering, lampunya dan propertinya yang kurang baik: terlambat, berisik karena ada prop yang beradu, dan ada properti yang belum pada tempatnya, lampu sudah menyala full. Gawat sih ini. Seolah-olah latihannya masih minim karena kurang dana. Hahahaha. Maaf yak. Saya cukup berpengalaman dalam hal ini. Jadi, kita terbuka saja. Cuma, saya rasa panitia ini tidak kekurangan dana-lah. SDM-nya juga banyak—walau kurang dimaksimalkan. So, saya yakin bahwa ini adalah faktor kurangnya disiplin dan komitmen!
Akhir Pementasan
Di akhir pementasan, setelah perkenalan tim artistik dan tim produksi, salah seorang (kemungkinan PIC atau sutradara) muncul di tengah depan panggung. Ia memberikan pesan seputar persatuan dan kesatuan dengan tidak memandang perbedaan, kita sama, dsb. Lalu ia mengajak kami yang tahu lirik lagu (yang akan dinyanyikan) untuk ikut bernyanyi. Pada saat ia berbicara, seharusnya orkestra tetap memainkan musik. Jangan diam. Jangan senyap begitu! Karena pesan yang dia sampaikan, itu serius. Tidak ada musik sebagai pendamping, membuat suasana menjadi mencekam—apalagi, orang yang sedang bicara itu juga terlihat tegang. Kalian pikirin sampe ke situ nggak sih? #mulaigeraaaaam
Ngomong-ngomong soal musik, kedengarannya ada satu kondensor yang on-off karena tiba-tiba terdengar suara trombone keras, lalu hilang seketika, lalu muncul lagi. Saya dapat melihat banyak audiens kaget saat suara trombone tiba-tiba keras. #kocak
Secara keseluruhan, pementasan ini sudah baik. Tapi ketahuilah, disiplin dan komitmen itu harus jadi pondasi untuk menyiapkan suatu pementasan. Karena pada akhirnya, disiplin dan komitmen yang ditunjukkan selama proses persiapan, itu menentukan bagaimana akhirnya. Dan saya rasa, disiplin dan komitmen yang kurang, telah menghasilan pementasan yang (sekadar) baik (saja). Tidak berkesan pada akhirnya; selain melegakan tenggorakan batin sesaat saja. Sekalipun demikian, saya ucapkan selamat atas pementasan Drama Musikal Petualangan Sherina ini. Semoga menjadi pembelajaran bagi tim produksi dan tim artistik dan tentu menjadi pengingat bagi para penonton akan pentingnya nilai-nilai memaafkan serta kerja sama di antara kita semua.